RSS

 PENILAIAN INOVATIF MATEMATIKA:

Filsafat, Ideologi, Paradigma, dan Praksis

 

 

Andi Harpeni Dewantara

S3 PEP, Universitas Negeri Yogyakarta


 

 

ABSTRAK

Filsafat dan ideologi memegang peran esensial dalam menentukan arah kebijakan sistem pendidikan suatu bangsa. Keduanya memberikan pengaruh signifikan terhadap beragam aspek kehidupan, tak terkecuali pada sistem pendidikan. Penilaian dalam kerangka sistem pendidikan pun sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi. Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan paradigma dari konsep penilaian tradisional ke modern. Pada klaster bangsa berideologi  kapitalisme, sosialisme, pragmatisme, materialisme, utilitarianisme, otoriterianisme, dan absolutisme, kesemuanya cenderung masih menerapkan paradigma penilaian tradisional yang memandang tes eksternal sebagai alat penilaian utama. Berbeda halnya pada klaster beberapa ideologi seperti democratics, scienticism, progressive, constructivism, dan cognitivism yang sudah mulai menerapkan bentuk penilaian multi domain, seperti penilaian berbasis kelas, portofolio, dan penilaian autentik yang digunakan untuk menilai kompetensi kognitif, keterampilan, dan sikap siswa. Model penilaian tersebut menjadi teknik penilaian yang digunakan pada berbagai model pembelajaran inovatif yang berlandaskan teori contructivism seperti STEAM, inkuiri terbimbing,  project-based learning (PjBL), Brunner, Realistic mathematics education (RME), scientific, montessori, pembelajaran kolaboratif, challenge-based lerning, individual learning, inclusive learning, joyfull, dan authentic learning.

Kata Kunci: Filsafat, Ideologi, Paradigma, Teori, Penilaian

 

 

1.     PENDAHULUAN

Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Penilaian memegang peran sentral dalam meningkatkan kualitas pembelajaran (Gronlund, 1998), sebab dapat menjadi alat bantu bagi pendidik untuk mengetahui sejauh mana tujuan tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Sewagegn, 2020; Anis et al., 2020). Secara praktikal, penilaian dimaknai sebagai kegiatan mengumpulkan, menginterpretasi, melaporkan, dan menggunakan informasi tentang hasil perkembangan belajar siswa dengan menerapkan prinsip pelaksanaan berkelanjutan, penggunaan bukti-bukti autentik, akurat, dan konsisten (Shemilt, 2018; Zahro, 2015; Suskie, 2018).

Pada dasarnya, penilaian bukanlah merupakan barang baru dalam dunia pendidikan. Kegiatan menilai berkorelasi dengan pilihan dan keputusan yang telah dilakukan sejak awal kehidupan manusia. Namun dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan paradigma dari konsep penilaian lama ke baru atau konsep penilaian tradisional ke modern (Buhagiar, 2007). Salah satu bentuk pergeseran paradigma penilaian yaitu dari aspek domain. Dahulu, penilaian hanya menekankan pada penilaian pencapaian belajar siswa pada aspek pengetahuan melalui berbagai jenis tes tertulis (paper and pencil test) (Reeves, 2000) seperti pilihan ganda, benar-salah, isian singkat, dan essay (Dikli, 2003). Dalam penilaian modern, paradigma tersebut telah berubah. Penilaian haruslah bersifat menyeluruh (holistik) yang mencakup semua aspek perkembangan peserta didik baik aspek sikap, pengetahuan, maupun keterampilan. Hal ini juga dijelaskan oleh Marsigit (2016) bahwa model penilaian autentik dan portofolio yang menilai multi aspek perkembangan siswa merupakan paradigma penilaian modern yang direkomendasikan diterapkan dalam proses pembelajaran. Menurut (Kirthika, 2022), perubahan mayor yang terjadi dalam penilaian pembelajaran di antaranya penggunaan pendekatan konstruktivis dalam penilaian, penggunaan evaluasi komprehensif berkelanjutan,  penggunaan berbagai jenis/teknik penilaian, serta penggunaan grade (nilai/kategori) sebagai pengganti skor dalam penilaian siswa.

Model penilaian senantiasa berkembang dan disempurnakan seiring dengan perkembangan dan perubahan kurikulum yang berlaku. Kurikulum pun haruslah dinamis dan terus berkembang untuk mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi. Dalam perjalanannya, perubahan kurikulum di Indonesia telah dilakukan sebanyak 10 kali yang dimulai dari tahun 1947 yang dikenal dengan ‘rentjana pelajaran’ hingga kurikulum 2022 dikenal dengan ‘Kurikulum Merdeka’.

Kurikulum menjadi dasar falsafah pandangan hidup suatu bangsa yang digunakan sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan (Offorma, 2016). Filsafat dan ideologi memegang peran fundamental dalam memberikan acuan dan titik tolok dalam pengembangan dan implementasi kurikulum pendidikan. Marsigit et al. (2018) mengemukakan bahwa filsafat dapat menjadi dasar dalam menentukan berbagai hal sebagai upaya mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, seperti dalam membantu mengeksplorasi metode pengajaran serta metode untuk melakukan evaluasi pencapaian hasil dari praktik pendidikan. Dengan demikian, sistem evaluasi dan penilaian dalam kerangka kurikulum penyelenggaraan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi yang dianut suatu bangsa .

Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang filsafat, ideologi, dan paradigma dalam kaitannya dengan sistem penilaian. Akan dibahas tentang bagaimana bangsa-bangsa dari beragam ideologi memandang pendidikan dan unsur penilaian di dalamnya, tentang bagaimana perubahan paradigma penilaian yang terjadi dari berbagai klaster bangsa-bangsa dengan ideologi berbeda, serta secara khusus memotret bagaimana sistem penilaian inovatif yang diterapkan dalam beragam model pembelajaran yang berakar dari ideologi konstruktivisme, seperti STEAM, Inquiry terbimbing,  project-based learning (PjBL), Brunner, Realistic mathematics education (RME), scientific learning, montessori, pembelajaran kolaboratif, challenge-based lerning, individual, inclusive, joyfull, dan authentic learning.    

 

2.     FILSAFAT PENILAIAN

Filsafat memegang peran fundamental dalam memberikan acuan dan titik tolok dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam bidang pendidikan (Tan, 2006). Salah satu perannya yaitu sebagai dasar dalam membantu perencanaan pengembangan kurikulum sebagai sebuah sistem atau seperangkat pedoman penyelenggaran aktivitas belajar. Marsigit et al. (2018) mengemukakan bahwa filsafat dapat menjadi dasar dalam menentukan berbagai hal sebagai upaya mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, seperti dalam membantu mengeksplorasi metode pengajaran serta metode untuk melakukan evaluasi pencapaian hasil dari praktik pendidikan.

Pada dasarnya semua pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan, seni, atau bidang pengetahuan lainnya memiliki tiga landasan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Nurhayati et al., 2021; Suriasumantri, 1994). Sedangkan filosofi umum yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan di antaranya filsafat idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme (Ross, 1970).

Selanjutnya berdasarkan orientasi pendidikan serta peranan pendidikan terhadap perubahan sosial, Brubacher and B.O Smith mengklasifikan sistem filsafat pendidikan menjadi empat aliran, yaitu perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme (Ornstein & Levine, 1985). Keempat aliran filsafat inilah yang selanjutnya dimodifikasi dan banyak digunakan sebagai landasan filosofis pendidikan kontemporer di Indonesia (Marsigit, 2014b). Aliran-aliran filsafat tersebut juga memberikan pengaruh besar dalam perkemnbangan pendidikan, termasuk dalam hal pengembangan kurikulum, pembelajaran, serta evaluasi dan penilaian . Dalam konteks mikro, penilaian sebagai elemen penting di dalamnya secara langsung sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi pendidikan yang dianut oleh suatu bangsa.

Dalam ontologi tabel mikro filsafat dan mikro ideologi pendidikan yang disusun oleh Marsigit (2014a, 2014b), dituliskan bahwa filsafat esensialisme, realisme, dan eksistensialisme diterapkan untuk sistem pendidikan pada bangsa-bangsa dengan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan demokrasi. Sebagai negara yang menganut ideologi demokrasi, pendidikan kontemporer Indonesia pun cenderung menerapkan filsafat esensialisme, realisme, dan eksistensialisme.

Esensialisme berakar dari filsafat idealisme dan realisme (Ornstein & Levine, 1985). Dalam aspek evaluasi dan penilaian, pihak essentialists memandang bahwa tes eksternal terstandar menjadi teknik penilaian utama. Esensialisme dalam pendidikan menegaskan bahwa ide-ide dan keterampilan umum dan esensial milik suatu budaya tertentu harus diajarkan kepada semua warga negara pada tingkat yang sama terutama di tingkat sekolah dasar. Untuk itu, otoritas guru di dalam kelas ditekankan dan mata pelajaran menjadi pusat kurikulum (Sahin, 2018). Selanjutnya, realisme merupakan filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenal, paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan (Marsigit, 2014b). Sedangkan bagi pihak penganut filsafat eksistensialisme, pendidikan bertujuan untuk mendorong individu siswa mengembangkan potensinya untuk aktualisasi diri. Sekolah harus mengakui bahwa setiap siswa adalah makhluk bebas, unik, dan berakal dengan potensi dan kemampuannya masing-masing (Tan, 2006). Olehnya itu, sekolah harus memberikan pendidikan yang luas dengan banyak pilihan bagi siswa untuk mengeksplorasi, merenungkan dan mengaktulisasikan diri mereka.

Berikut disajikan tabel perbandingan atribut pada filsafat pendidikan yang diadaptasi dari Ornstein’s and Olivia’s Educational Philosphies dari disertasi Dr. David E.Diehl (2006) yang berjudul “A Study of Faculty-Related Variables and Competensi in Integrating Instructional Technologies into Pedagogical Practices”.

Tabel 1.  Perbandingan atribut pada filsafat pendidikan

Kategori

Tradisional

Kontemporer

Philosophical-orientation

Realism

Idealism & Realism

Pragmatism

Pragmatism

Theoretical-orientation

Perennialism

Essentialism

Progressivism

Reconstructionism

Nilai pendidikan

Tetap, absolut, objektif

Dapat berubah, subjektif, relatif

Proses pendidikan

Berfokus pada pengajaran

Pembelajaran aktif mandiri

Fokus kecerdasan

Melatih, mengatur pemikiran

Menstimulus untuk pemecahan masalah/ tugas sosial

Teori pembelajaran

Pembelajaran berbasis kognitif

Exploratori, penemuan

Teori pengajaran

Memberikan ceramah, mendominasi pengajaran

Memfasilitasi, mengarahkan, dan sebagai agen perubahan

Siswa

Pasif, menerima pengetahuan

Penemuan, membangun pengetahuan

Sosial

Mengarahkan, mengontrol, membatasi

Individualis

Keragaman

Homogen

Heterogen, keragaman budaya

 

3.     IDEOLOGI PENILAIAN

Ideologi merupakan bentuk operasionalisasi dari filsafat (Marsigit, 2014b). Lebih lanjut, (Marsigit, 2014b) menyatakan bahwa implikasi atas operasionalisasi tersebut, maka ideologi bersifat plural dan kontekstual sebab terkait dengan ruang dan waktu pada konteks suatu budaya atau sejarah suatu bangsa. Beberapa ideologi hasil kristalisasi filsafat yaitu ideologi kapitalisme, sosialisme, pragmatisme, utilitarian, scienticism, progressive, demokratis, otoritarianisme, absolutisme, liberalisme, dan ideologi pancasila (Erkilic, 2021).

  Ideologi suatu bangsa menjadi elemen dasar dalam memberikan pengaruh arah kebijakan dalam berbagai lini kehidupan berbang dan bermasyarakat, termasuk bidang pendidikan. Selain itu, ideologi pendidikan juga memiliki korelasi kuat dengan politik pendidikan yang dianut suatu bangsa, sebagaimana yang disebutkan oleh (Ernest, 1995) bahwa politik pendidikan berkaitan langsung dengan ideologi pendidikannya. Sebagai contoh, bangsa-bangsa dengan ideologi industrial trainer cenderung menerapkan politik pendidikan radikal kanan. Kelompok negara dengan ideologi publik old humanism cenderung memadukan politik pendidikan liberal dan konservatif. Politik pendidikan liberal juga diimplementasikan oleh bangsa-bangsa yang memiiliki pandangan ideologi progressive educator, sedangkan politik pendidikan demokrasi diterapkan oleh bangsa-bangsa dengan ideologi public educator (Marsigit, 2014b).

Dalam konteks yang lebih mikro, pengaruh ideologi terhadap sistem pendidikan juga tentunya berimplikasi terhadap sistem penilaian pendidikan yang diterapkan. Menurut (Marsigit, 2015b), beberapa nature of assessment (jenis penilaian) yaitu external test, portfolio, social dan contextual. Kelompok dengan ideologi industrial trainer, technological pragmatism, dan old humanism sama-sama memandang bahwa external test (tes eksternal) menjadi alat evaluasi utama dalam pendidikan (Marsigit, 2009).

Penilaian eksternal mencakup tes standar dan penilaian skala besar yang dilaksanakan oleh pihak di luar kelas (Kellaghan, 2010). Penilaian skala besar biasanya dilakukan di tingkat regional, nasional, dan internasional, baik di dalam atau di seluruh sistem pendidikan. External test biasanya digunakan untuk tujuan akuntabilitas yaitu untuk mengevaluasi efektivitas sistem pendidikan. Penilaian yang diselenggarakan oleh  pemerintah sebagai pengendali mutu pendidikan, misalnya UN (Ujian Nasional) merupakan  salah bentuk penilaian  eksternal (external assessment). 

Berbeda halnya dengan kelompok dengan ideologi industrial trainer, technological pragmatism, dan old humanism, kelompok progressive dan public educator memandang bahwa proses penilaian tidak hanya berdasar pada hasil tunggal dari skor tes saja, namun harus memperhatikan proses (Ernest, 1995). Portofolio dipandang sebagai bentuk evaluasi yang mampu mengakomodir kebutuhan tersebut. Portofolio dapat memberikan informasi tentang perkembangan proses belajar peserta didik serta menjadi bahan evaluasi sejauh mana pencapaian peserta didik selama proses belajar berlangsung (Birgin & Adnan, 2007).     

Kelompok dengan ideologi progressive dan public educator memandang bahwa penilaian portofolio merupakan alternatif metode assesment yang tepat digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kemajuan belajar peserta didik (Marsigit, 2015a). Penilaian portofolio merupakan metode penilaian berkesinambungan yang mengumpulkan berbagai informasi atau dokumentasi hasil pekerjaan siswa yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu (Jena & Behera, n.d.; Muho & Leka, 2021). Penilaian ini dianggap sebagian peneliti pendidikan adalah penilaian alternatif di dunia modern dan jauh lebih reliabel dan valid daripada penilaian baku (Birgin & Adnan, 2007). Aspek yang diukur dalam penilaian portofolio adalah tiga domain perkembangan psikologi anak yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Portofolio merupakan teknik asesmen untuk mengetahui kemajuan kompetensi yang telah dicapai peserta didik dan mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, memberikan umpan balik untuk kepentingan perbaikan dan penyempurnaan kegiatan belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan pendapat (Herrera et al., 2007; Saeed et al., 2018) bahwa penilaian portofolio berbeda dari teknik penilaian tradisional seperti sumatif atau tes standar lainnya karena portofolio mampu memberikan gambaran berkelanjutan tentang kemajuan belajar siswa.  

 

4.     PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN

Pada dasarnya, evaluasi dan penilaian bukanlah merupakan barang baru dalam dunia pendidikan. Sejak awal kehidupan manusia, kegiatan mengevaluasi dan menilai sebenarnya telah dilakukan, sebab kegiatan menilai merujuk pada pilihan dan keputusan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan mengevaluasi dan/atau menilai merupakan bagian alamiah dalam kehidupan manusia (Nurhayati et al., 2021b). Namun dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan paradigma dari konsep penilaian lama ke baru atau konsep penilaian tradisional ke modern.

Salah satu bentuk pergeseran paradigma penilaian yaitu dari aspek domain. Domain penilaian tradisional hanya berfokus pada cognitive domain, sedangkan paradigma penilaian baru mencakup tiga domain yaitu cognitive, affective, dan psychomotor serta menekankan pada upaya peningkatan pencapaian belajar siswa melalui continuous feedback (umpan balik berkelanjutan) (Kirthika, 2022). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Festiyed (2013) bahwa paradigma penilaian baru lebih menekankan pada pengukuran proses kerja siswa, buka hanya hasil kerja siswa. Olehnya itu, penilaian siswa diarahkan pada bentuk penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi untuk menunjukkan perkembangan kemampuan siswa dalam kurun waktu tertentu. Bentuk penilaian ini dikenal sebagai portofolio. Selain itu, paradigma baru lebih menekankan pada penilaian proses berpikir mendalam, bukan sekadar keterampilan hafalan. Airasian (2000) menyatakan bahwa hal fundamental dari paradigma baru penilaian adalah tumbuhnya kesadaran bahwa ‘assessment is more than just a technical activity’, asesmen bukan hanya sebagai sebuah aktivitas pengukuran atau penilaian secara teknis. 

Selanjutnya berdasarkan aspek teknik ujian, Arifin (2010) menyebutkan bahwa telah terjadi transformasi dari ujian yang cenderung hanya menggunakan teknik paper and pencil test menjadi penilaian menggunakan berbagai teknik seperti performance test, affective test, objective test, portfolio.  Selain pada aspek domain dan  teknik penilaian, juga terjadi perubahan pada beberapa aspek lainnya seperti tujuan, kegunaan, proses dan pelaksana penilaian. Menurut (Kirthika, 2022), perubahan mayor yang terjadi dalam penilaian pembelajaran di antaranya penggunaan pendekatan konstruktivis dalam penilaian, penggunaan evaluasi komprehensif berkelanjutan,  penggunaan berbagai jenis/teknik penilaian, serta penggunaan grade (nilai/kategori) sebagai pengganti skor dalam penilaian siswa.

Berdasarkan pendapat dari (Buhagiar, 2007; Arifin, 2010;  Kirthika, 2022) Penulis menyimpulkan beberapa perubahan paradigma penilaian sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 2 berikut.  




Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa penilaian telah mengalami pergeseran paradigma dari beberapa aspek. Transformasi paradigma lama ke paradigma baru menjadikan penilaian tidak lagi hanya berfokus pada domain kognitif. Imbasnya, penilaian eskternal seperti ujian nasional pun tidak lagi menjadi teknik penilaian utama. Cluster bangsa-bangsa dengan ideologi progressive educator dan public educator mulai menerapkan bentuk penilaian yang bersifat multi domain, seperti penilaian portofolio dan penilaian berbasis social context (Ernest, 1995) yang digunakan untuk menilai kompetensi kognitif, keterampilan, dan sikap siswa secara komprehensif. Hal ini juga dijelaskan oleh Marsigit (2016) bahwa penilaian autentik dan portofolio merupakan paradigma penilaian modern yang direkomendasikan diterapkan dalam proses pembelajaran.

Berangkat dari paradigma baru penilaian tersebut, kegiatan assessment tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai bentuk penilaian hasil belajar kognitif siswa, tetapi secara lebih komprehensif diartikan sebagai proses pengumpulan berbagai informasi dan data pembelajaran yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan keputusan profesional tentang program dan pelaksanaan pembelajaran serta memberikan umpan balik terhadap perkembangan siswa. Dalam paradigma baru, sistem penilaian dimaksudkan untuk mengarahkan siswa pada strategi pembelajaran aktif yang didasarkan pada teori constructivism, inkuiri, dan penerimaan bermakna (Usa, 2015).

Dengan demikian, dalam perkembangannya, paradigma penilaian baru juga terintegrasi dalam berbagai jenis teori/model/metode pembelajaran inovatif berbasis konstruktivisme di antaranya STEAM (Bertrand & Namukasa, 2020), Inquiry (Reinmann, 2019), Project-based Learning (Frank & Barzilai, 2004),  RME (van den Heuvel-Panhuizen & Drijvers, 2020), Montessori (Callaghan, 2014), Collaborative (Hunter, 2006; Wiener, 1986), Joyful Learning (Hughes & Gullo, 2010), dan Authentic Learning (Burke, 2009).

 

5.     FILSAFAT, IDEOLOGI, PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN KONSTRUKTIVISME

Filsafat, ideologi dan politik pendidikan memegang peran esensial dalam menentukan arah kebijakan sistem pendidikan suatu bangsa. Hal ini berimplikasi pada terpengaruhinya sejumlah aspek dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan, pemerolehan pengetahuan (knowledge), nilai moral yang dianut, teori pembelajaran dan pengajaran, teori siswa, sumber pembelajaran, keragama lingkungan belajar, dan teori pengembangan kemampuan. Selain beberapa aspek tersebut, filsafat dan ideologi juga memberikan pengaruh terhadap sistem evaluasi dan penilaian.

Pada bangsa-bangsa dengan ideologi industrial trainer, technological pragmatism, dan old humanism (Ernest, 1995) atau kelompok dengan ideologi pendidikan kapitalisme, saintisme, spiritualisme, dan sosialisme (Marsigit, 2014b) memandang siswa sebagai empty vessel yaitu tong atau wadah kosong yang siap diisi dengan pengetahuan. Guru menjadi pihak yang berperan untuk mentransfer pengetahuan tersebut. Olehnya itu, teori pengajaran bersifat sangat tradisional, cenderung bersifat knowledge-based yang hanya berfokus pada aktivitas transfer ilmu pengetahuan kepada siswa. Sedangkan sistem evaluasi atau penilaian yang dianut adalah penilaian eskternal. External test  merupakan sistem penilaian skala besar yang dilaksanakan oleh pihak lain di luar kelas seperti pemerintah. Tujuan dari implementasi penilaian eksternal biasanya bersifat akuntabilitas yaitu untuk mengevaluasi efektivitas sistem pendidikan dan sebagai pengendali mutu pendidikan. Bentuk eksternal tes yang digunakan seperti tes nasional atau ujian nasional yang dilakukan secara serentak.

Sedangkan pada bangsa-bangsa dengan ideologi progressive, demokratis, dan constructivism, pandangan tentang siswa telah berkembang (Marsigit, 2014b). Siswa tidak lagi dianggap sebagai empty vessel, namun sebagai aktor belajar, sebab pembelajaran diarahkan untuk bersifat student-oriented. Khusus pada bangsa dengan ideologi constructivism, tujuan pendidikan dipandang sebagai wadah untuk mengkonstruk kehidupan yang lebih baik. Olehnya itu, theory of students yang dianut adalah konstruktivisme, yaitu siswa didorong dan diarahkan untuk mengkonstruk ide dan pengetahuannya secara mandiri agar pembelajaran menjadi lebih bermakna (Kumar & Teotia, 2017; Ozola, 2012). Dalam perkembangannya, ideologi constructivism memberikan sentuhan pengaruh yang cukup signifikan dalam dunia pendidikan. Kontruktivisme menjadi pendekatan yang populer dan berkembang dalam praktik pembelajaran saat ini. Hal tersebut tidak lepas dari teori-teori mendasarinya. Teori konstruktivisme dikemukakan oleh Jerome Bruner pada tahun 1966 (Olorode & Jimoh, 2016).

Lebih lanjut, Bada & Olusegun, 2015 menjelaskan ide sentral dari pembelajaran konstruktivisme adalah bahwa pembelajar membangun pengetahuan baru di atas fondasi pembelajaran sebelumnya. Pengetahuan awal ini mempengaruhi pengetahuan baru atau menjadi pondasi untuk memodifikasi apa yang akan dibangun seseorang dari pengalaman belajar baru (Phillips, 1995). Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Glasersfeld (2006) bahwa teori konstruktivisme menekankan pada dua hal dalam praktik pendidikan, yaitu siswa sebagai pihak pembelajar terlibat aktif dalam mengkonstruksikan ide dan pengetahuannya sendiri serta adanya interaksi sosial yang tercipta dalam proses pembelajaran. Hal tersebut menjelaskan bahwa konstruktivisme memandang aktivitas belajar sebagai proses aktif yang dilandasi pada asumsi bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik melalui pengalaman yang telah dialaminya. Sudut pandang ini memberikan gagasan bahwa seseorang (siswa) akan aktif membangun pengetahuan baru saat mereka berinteraksi dengan lingkungannya (Adesanya, 2009).

Dalam konteks pembelajaran di kelas, pandangan pembelajaran konstruktivisme  berfokus bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk menciptakan lebih banyak pengalaman, memahami apa yang mereka telah pelajari dengan cara menerapkan konsep-konsep yang diketahuinya kemudian mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-hari (Akpan et al., 2020).

Peran guru dalam pembelajaran konstruktivis juga berbeda dengan peran guru yang mendominasi (teacher-centred) pada pembelajaran tradisional. Dalam pandangan pembelajaran konstruktivisme, guru memiliki peran dan tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang mengedepankan kolaborasi dan pemecahan masalah, di mana siswa terlibat dan berpartisipasi aktif di dalamnya. Berdasarkan perspektif ini, peran guru lebih tepat jika disebut sebagai fasilitator, buka hanya sebatas pengajar. Guru berperan memastikan pemahaman konsepsi awal siswa, dan menstimulasi pada aktivitas penemuan pengetahuan baru (Oliver, 2000). Scaffolding, teknik pemberian bantuan yang disesuaikan dengan tingkat kinerja siswa, merupakan teknik yang efektif digunakan untuk membantu proses belajar siswa. Scaffolding dapat mencakup pemodelan keterampilan, memberikan petunjuk atau isyarat, dan mengadaptasi materi atau aktivitas (Copple & Bredekamp, 2009).

Dalam perkembanganya, telah lahir berbagai jenis model/metode pembelajaran yang berakar dari ideologi konstruktivisme. Beberapa di antaranya yaitu di antaranya STEAM (Bertrand & Namukasa, 2020), Inquiry (Reinmann, 2019), Project-based Learning (Frank & Barzilai, 2004),  RME (van den Heuvel-Panhuizen & Drijvers, 2020), Montessori (Callaghan, 2014), Collaborative (Hunter, 2006; Wiener, 1986), Joyful Learning (Hughes & Gullo, 2010), dan Authentic Learning (Burke, 2009). Teori siswa yang dianut pun menempatkan siswa sebagai aktor utama dalam pembelajaran yang dituntut harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran tidak lagi bersifat teacher-oriented, sebaliknya memandang bahwa pembelajaran harus berpusat pada siswa (student-oriented).

Tujuan pendidikan bagi mereka yang berideologi constructivism pun tidak hanya sebagai kegiatan proses transfer ilmu dari guru ke siswa. Lebih daripada itu, tujuan inquirypendidikan pada model pendidikan konstruktivisme adalah bagaimana menstimulasi siswa untuk mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, memahami materi pembelajaran secara bermakna (meaningfull) dan selanjutnya mampu menerapkan konsep-konsep yang diketahuinya dalam memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, model pembelajaran STEAM bertujuan untuk membangun kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam berbagai konteks (Gess, 2017), model pembelajaran inquiry melibatkan siswa dengan menciptakan hubungan dengan dunia nyata melalui kegiatan eskplorasi dan bertanya tingkat tinggi (Aditomo et al., 2013; Ernst et al., 2017), model PjBL mendorong siswa untuk mampu menerapkan teori dan pengetahuan yang telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah dunia nyata (Goodman & Stivers, 2010; SEAQIL, 2020), model pembelajaran Brunner mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri konsep pembelajaran secara mandiri (Mcleod, 2008; Takaya, 2008), sedangkan RME menstimulus siswa untuk menemukan konsep matematika dengan berbasis pada pengalaman nyata sehingga pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan bermanfaat (Barnes, 2005; van den Heuvel-Panhuizen & Drijvers, 2020). Selanjutnya, model pembelajaran scientific, bertujuan untuk mengembangakan sikap ilmiah, kemampuan berpikir sistematis dan keterampilan pemecahan masalah siswa (Ahuja, 2017). Tujuan tersebut tidak jauh berbeda dengan tujuan challenge-based learning yaitu mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, di antaranya kemampuan bernalar, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Sedangkan model pembelajaran montessori dan individual learning bertujuan untuk mempersiapkan pondasi siswa untuk belajar sepanjang masa (long-life learning) berdasarkan kebutuhan individu siswa (Faryadi, 2007; Shemshack & Spector, 2020). Aspek humanis pendidikan juga ditunjukkan dalam model pembelajaran inklusif yang bertujuan untuk menciptakan pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh siswa tanpa memandang keterbatasan yang dimilikinya (Causton & Tracy-Bronson, 2015; CBSE, 2020)

   Untuk teori pembelajaran yang diimplementasikan, para constructivist mengedepankan hermeunetika atau interaksi (Varney, 2009), di mana pembelajaran tidak hanya bersifat dua arah namun harus bersifat multi arah seperti adanya diskusi antar guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Untuk menunjang terlaksananya pembelajaran, sumber pembelajaran dapat memanfaatkan lingkungan dan konteks sosial. Selanjutnya pada sistem evaluasi dan penilaian yang digunakan, teknik yang digunakan sudah bersifat lebih fleksibel dan modern, tidak lagi berbasis pengukuran pengetahuan saja. Hal ini diungkapkan oleh Kumar & Teotia (2017) bahwa ‘the trend of moving away from a knowledge-based, examination-driven system to a student-centered and performance-driven system’ yang dapat diartikan bahwa dalam teori konstruktivisme, sistem penilaian telah bergeser dari yang berbasis pengetahuan ke berbasis kinerja. Penilaian tidak hanya berfokus pada pengetahuan melalui ujian atau tes, tetapi juga mengukur kinerja yang berpusat pada aktivitas siswa.

Kelompok konstruktivis memandang bahwa penilaian merupakan alat yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, baik dalam meningkatkan hasil belajar siswa maupun dalam meningkatkan pemahaman guru terhadap siswanya (Kirthika, 2022). Karakteristik penilaian dalam teori konstruktivisme yaitu lebih mengedepankan penilaian formatif dibanding sumatif dan penilaian dipandang sebagai proses yang berlangsung secara terus menerus (on-going) dalam proses pembelajaran (Jena & Behera, n.d.). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, bukan sekadar untuk menilai atau memberikan skor pada pekerjaan siswa.

Penilaian mengacu pada proses pengumpulan informasi tentang keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan peserta didik. Penilaian juga memuat kegiatan guru memberikan umpan balik terhadap kinerja siswa dengan maksud untuk mendorong peningkatan kualitas pembelajaran. Alat, teknik, metode penilaian yang digunakan dalam pembelajaran harus mampu melibatkan siswa dalam pembelajaran, seperti penerapan metode observasi kelas dengan ceklis, tes unjuk kinerja, investigatory project (projek penemuan) (Kirthika, 2022), atau penggunaan concept map (peta konsep), portofolio, rubrik dan penilaian proses seperti penilaian diri, penilaian sejawat, dan penilaian kolaboratif (Jena & Behera, n.d.).

Sistem pendidikan yang berlandaskan teori contructivism (baik cognitive maupun social contructivism), mengimplementasikan model evaluasi dan penilaian yang sudah bersifat inovatif. Menurut Iofciu et al. (2012), penilaian konstruktivis merupakan aktivitas evaluasi yang kompleks, melibatkan siswa dan guru. Fokus penilaian tidak lagi hanya terpaku pada cognitive-assessment, tetapi juga menilai berbagai aspek lain secara komprehensif seperti keterampilan dan sikap. Teknik/ cara penilaian yang digunakan pun semakin bervariasi, didasarkan pada informasi pembelajaran apa saja yang akan dikumpulkan dan dinilai. Beberapa model alternatif penilaian yang dapat digunakan yaitu authentic assessment, performance assessment, dan consrtuctivist assessment (Simonson et al., 2019). Selain itu, cognitive assessment, performance assessment dan portfolio assessment juga merupakan jenis penilaian yang dapat digunakan (Reeves, 2000).

Classroom-based assessment dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar sehingga disebut sebagai penilaian berbasis kelas. Penilaian berbasis kelas dilaksanakan secara berkesinambungan pada tiga domain: sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran/profil prestasi dan kemajuan belajar siswa (Rustaman, 2004).  Selanjutnya, penilaian autentik merupakan pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan. Sedangkan penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian atas kumpulan artefak yang menunjukkan kemajuan dan diharga sebagai hasil kerja siswa (Kemendikbud, 2017). Dokumen-dokumen yang dikumpulkan dalam portofolio bisa berasal dari hasil kerja individu atau dikerjakan secara berkelompok, yang selanjutnya dievaluasi dan diberikan feedback oleh guru. Jenis-jenis penilaian yang dapat dilakukan pada ketiga model penilaian tersebut di antaranya penilaian kinerja, tes tertulis, penilaian sikap, penilaian proyek. Penjelasan dari ketiga model penilaian ini akan dibahas secara lebih detail pada subbab 6 (praksis penilaian inovatif).

Pada pembelajaran model STEAM, sebuah pendekatan pembelajaran interdisiplin antara Science, Technology, Engineering and Mathematics, jenis penilaian yang relevan digunakan yaitu penilaian autentik, portofolio, penilaian kinerja (Nurhaifa et al., 2020). Pada pembelajaran model inquiry terbimbing, siswa lebih banyak diarahkan untuk belajar mandiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah secara ilmiah. Dengan demikian, bentuk penilaian yang dapat dilakukan yaitu penilaian kinerja ilmiah, observasi kelas, penilaian autentik, portofolio (Reinmann, 2019). Selanjutnya pada pembelajaran PjBL yang berorientasi pada pengerjaan proyek, hasil pembelajaran pada umumnya adalah sebuah laporan hasil proyek. Oleh karena itu, penilaian yang digunakan dalam PjBL adalah teknik penilaian proyek yang dilakukan terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode atau jangka waktu tertentu.  Selain itu, juga digunakan penilaian portofolio, penilaian sejawat, dan penilaian produk (Chang & Tseng, 2011; Trauth-Nare & Buck, 2011).

Pada pembelajaran Brunner, bentuk penilaian yang relevan digunakan seperti obrservasi kelas, tes kognitif, penilaian unjuk kerja. Sedangkan pada model pembelajaran scientific, penilaian autentik menjadi teknik penilaian utama yang digunakan (Barber, 1995; Widiana, 2022). Penilaian saintifik tersebut memiliki beberapa karakteristik yaitu: penilaian berbasis kompetensi, adanya pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan saja) menuju penilaian autentik (mengukur kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil), penilaian tidak hanya pada level Kompetensi Dasar, tetapi juga Kompetensi Inti dan Standar Kompetensi Lulusan, serta mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian. Selanjutnya pada pembelajaran montessori, penilaian dilakukan dengan model penilaian portofolio dan classroom based observation yang menggunakan berbagai teknik seperti penilaian unjuk kerja, penilaian keterampilan, dan laporan harian kegiatan kreatif montessori (Callaghan, 2014). Evaluasi hasil belajar menurut model Montessori bukan mengoreksi (teach by teaching, not by correcting). Prinsip penilaian yang dilakukan yaitu usaha dan pekerjaan anak dihargai sebagaimana adanya, rapor tidak menggunakan sistem ranking.

Pada pembelajaran kolaboratif, model penilaian yang digunakan yaitu classroom based observation oleh guru (Hunter, 2006). Namun, dalam pembelajaran kolaboratif penilaian tidak hanya dilakukan oleh guru/pengajar saja, tetapi juga dapat dilakukan oleh peserta didik, seperti setiap anggota kelompok menilai satu sama lain (peer-assessment) atau mengevaluasi tingkat kontribusi yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok (Strijbos, 2016; Wiener, 1986). Kebalikan dari pembelajaran kolaboratif, pembelajaran yang dilakukan secara independen (individual learning) menerapkan penilaian berbasis portofolio, penilaian kognitif seperti tes tertulis (essay, pilihan ganda, isian singkat, dan sebagainya), dan self-assessment. Sedangkan pada pembelajaran inclusive, penilaian hasil belajar dilakukan melalui penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi anak (diistilahkan sebagai adaptasi penilaian), seperti penyesuaian waktu, cara dan materi (CBSE, 2020). Sebagai contoh, peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam pelajaran bahasa Inggris maka penilaian tentang keterampilan mendengarkan dapat dikompensasi dengan aspek lainnya seperti membaca. Teknik penilaian lainnya yang relevan dilakukan yaitu penilaian unjuk kerja, tes kognitif, penilaian proyek, penilaian produk, portofolio, dan penilaian diri (Yuwono, 2018). Sedangkan pada joyful learning, berbagai aktivitas pembelajaran variatif diimplementasikan di dalamnya, seperti permainan, lagu, bercerita, bermain peran, dan sebagainya. Penilaian yang digunakan berupa penilaian autentik serta portofolio untuk mendokumentasikan hasil pekerjaan peserta didik secara berkesinambungan (Central Board, n.d.; Hughes & Gullo, 2010; Lesbian & Wage, 2010).

   

6.     PRAKSIS PENILAIAN INOVATIF

a.     Sintaks Penilaian

Berdasarkan Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Kemendikbudristek, 2022), prosedur pelaksanan penilaian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu perumusan tujuan penilaian, pemilihan dan/atau pengembangan instrumen penilaian, pelaksanaan proses penilaian, pengolahan hasil penilaian, dan pelaporan hasil penilaian.

Persiapan utama dan pertama yang harus dilakukan guru sebelum melaksanakan pembelajaran adalah membuat RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran). Ketika menyusun RPP, salah satu unsur yang harus ditetapkan adalah tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik setelah melaksanakan proses pembelajaran dalah satu kompetensi dasar tertentu. Hasil yang dimaksud tidak hanya pada aspek pengetahuan (kognitif), tetapi juga keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif). Tujuan pembelajaran sangat erat kaitannya dengan tujuan penilaian. Kegiatan penilaian bertujuan untuk mengetahui kemajuan belajar dan perolehan hasil belajar siswa berdasarkan tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, penetapan tujuan penilaian harus selaras dengan tujuan pembelajaran yang merujuk pada kurikulum yang termuat dalam perencanaan pembelajaran.

Selanjutnya, penting bagi guru untuk memilih instrumen penilaian yang tepat, mengingat bahwa ada banyak jenis isntrumen yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan penilaian terhadap pencapaian dan hasil belajar siswa. Jenis instrumen yang dipilih dan/atau dikembangkan harus sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai panduan, untuk menentukan teknik dan instrumen penilaian yang tepat, guru dapat mempertimbangkan aspek apa yang akan diukur serta indikator-indikator apa saja yang ada pada kompetensi dasar yang termuat dalam perencanaan pembelajaran. Instrumen penelitian juga harus mempertimbangankan karakteristik dan kebutuhan siswa.

Tahap ketiga yaitu melaksanakan proses penilaian dengan menggunakan instrumen yang telah dikembangkan dan dengan teknik penilaian yang sesuai. Kegiatan yang dilakukan yaitu mengumpulkan informasi untuk mengetahui kebutuhan belajar dan capaian perkembangan atau hasil belajar peserta didik. Pelaksanaan proses penilaian dapat dilaksanakan di awal, di tengah/pada saat pembelajaran, dan/ atau di akhir pembelajaran.

Setelah mengumpulkan informasi capaian perkembangan atau hasil belajar peserta didik, selanjutnya dilakukan proses penafsiran atau interpretasi terhadap informasi yang telah dikumpulkan tersebut. Hasil pengolahan tersebut dapat menjadi informasi sejauh mana perkembangan hasil belajar siswa dalam berbagai aspek (pengetahuan, keterampilan, dan sikap).

Kegiatan terakhir yaitu pelaporan dan pengkomunikasian hasil penilaian tentang capaian belajar siswa, baik kepada siswa, orang tua dan pihak terkait lainnya. Pelaporan hasil penilaian belajar siswa biasanya dilakukan di tiap akhir semester dan dilaporkan dapat bentuk rapor. Namun, tidak hanya di akhir semester, pelaporan hasil penilaian juga dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu jika diperlukan. Laporan hasil belajar tersebut tertuan dalam bentuk berbagai jenis laporan hasil penilaian seperti jurnal kemajuan belajar, portofolio, dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penilaian hasil belajar memuat tiga aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Prosedur penilaian ketiga aspek tersebut dapat dijabarkan secara rinci. Berdasarkan Permendikbud RI No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Permendikbud, 2016), berikut adalah prosedur penilaian untuk ketiga aspek tersebut.

1)       Penilaian aspek sikap dilakukan dengan cara mengamati perilaku siswa selama pembelajaran berlangsung, mencatat perilaku siswa dengan menggunakan lembar observasi, menindaklanjuti hasil observasi, dan mendeskripsikan perilaku peserta didik berdasarkan hasil observasi.

2)       Penilaian aspek pengetahuan dan keterampilan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu merumuskan rencana penilaian, mengembangkan instrumen penilaian, melaksanakan penilaian, memanfaatkan hasil penilaian, dan melaporkan hasil penilaian dalam bentuk data kuantitatif dengan skala 0-100 disertai dengan deskripsi.

 

b.     Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian berbasis kelas merupakan kegiatan pengumpulan informasi terkait proses dan hasil belajar siswa melalui berbagai cara/teknik/prosedur/alat penilaian dan selanjutnya dilakukan pembuatan keputusan tentang hasil belajar siswa berdasarkan informasi tersebut. Worthen & Sanders (1987) menyatakan bahwa koleksi/kumpulan informasi merupakan hal fundamental untuk melakukan kegiatan evaluasi. Filosofi inilah yang kemudian menjadi dasar digagasnya classroom-based assessment

Penilaian yang akan dilakukan harus mempertimbangkan aspek-aspek yang dinilai. Aspek-aspek yang dijadikan objek penilaian oleh guru umumnya meliputi bakat, minat, sikap, penyesuaian diri atau sosial, aspek-aspek pengetahuan, dan perkembangan siswa. Beberapa bentuk pengumpulan informasi/fakta/data dalam classroom-based assessment yaitu observasi untuk melakukan penilaian kinerja atau penilaian unjuk kinerja, jurnal perkembangan sikap, penilaian keterampilan, penilaian sikap, penilaian produk, penilaian proyek, penilaian diri, tes kognitif, penilaian melalui kumpulan hasil karya siswa.

Pada mata pelajaran matematika, portofolio memuat koleksi dokumen pembelajaran baik dokumen tugas, proyek atau karya lainnya yang telah dihasilkan. Dokumen yang termuat dalam portofolio seperti tugas rumah, tes, kuis, catatan kelas, jurnal perkembangan sikap, autobiografi, latihan soal, proyek pembelajaran, review buku, grafik/gambar, dan lain sebagainya. Pemilihan teknik penilaian classroom-based assessment didasarkan pada hal ‘apa’ yang hendak dinilai dari siswa, misalnya jika ingin mengukur kelayakan produk yang dihasilkan pada suatu proyek maka teknik penilaian yang digunakan yaitu penilaian produk. Jika ingin melihat kemampuan kognitif siswa, maka dilakukan penilaian kognitif menggunakan teknik tes seperti tes tertulis berbagai bentuk (essay, pilihan ganda, isian singkat, menjodohkan, dan sebagainya). Dengan demikian, pemilihan teknik penilaian disesuaikan dengan informasi apa yang akan dikumpulkan dari siswa.

Variasi bentuk penilaian kelas juga dipengaruhi oleh pemilihan model yang diterapkan. Beberapa contoh bentuk classroom-based assessment berdasarkan model pendidikan konstruktivisme yaitu sebagai berikut.

Pada pembelajaran STEAM yang menerapkan pendekatan pembelajaran interdisiplin antara Science, Technology, Engineering and Mathematics, teknik penilaian yang relevan digunakan untuk mengukur kemampuan siswa di antaranya yaitu penilaian kinerja dan portofolio (Nurhaifa et al., 2020). Selanjutnya pada pembelajaran inquiry, salah satu bentuk penilaian yang dapat dilakukan yaitu penilaian kinerja ilmiah dengan menggunakan lembar observasi (Reinmann, 2019). Sedangkan pada pembelajaran PBS yang berfokus pada perubahan tingkah laku, maka bentuk penilaian yang dapat dilakukan berupa observasi dan penilaian sikap, penilaian diri dan penilaian teman sejawat. Agak berbeda dengan PjBL (project-based learning) yang hasil pembelajarannya adalah sebuah laporan hasil proyek atau sebuah produk, maka bentuk penilaian berbasis kelas yang relevan digunakan yaitu penilaian proyek, penilaian produk, penilaian sejawat, dan penilaian diri (Chang & Tseng, 2011; Trauth-Nare & Buck, 2011).

Pada model Brunner, pengetahuan diperoleh melalui tiga tahapan perkembangan kognitif siswa yaitu enaktif (berbasis tindakan dan benda konkrit), ikonik (berbasis gambaran atau visualisasi), dan simbolik (penggunaan simbol abstrak). Untuk itu, penilaian yang cocok digunakan meliputi teknik observasi, penilaian keterampilan kerja, serta tes untuk menilai kemampuan kognitif siswa. Sedangkan pada pembelajaran montessori, penilaian berbasis kelas yang dapat diterapkan yaitu observasi untuk menilai keterampilan (penilaian unjuk kerja) yang hasilnya dituangkan pada laporan harian kegiatan kreatif montessori (Callaghan, 2014). Selanjutnya pada challenge-based learning, penilaian berbasis kelas yang dapat diterapkan yaitu teknik tes, baik tes tertulis maupun tes keterampilan, dan non tes (observasi kelas). 

Pada model pembelajaran collaborative, teknik penilaian yang relevan digunakan seperti observasi kinerja siswa yang dilakukan oleh serta penilaian sikap saat melakukan kolaborasi. Namun, dalam pembelajaran kolaboratif, penilaian tidak hanya dilakukan oleh guru/pengajar saja, tetapi juga dapat dilakukan oleh peserta didik, seperti setiap anggota kelompok menilai satu sama lain atau mengevaluasi tingkat kontribusi yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok. Kebalikan dari pembelajaran kolaborasi yaitu pembelajaran individual yang menekankan pada kedalaman dan keluasan materi pelajaran yang disusun berdasarkan kebutuhan tiap individu siswa. Bentuk penilaian yang dapat dilakukan yaitu tes untuk mengukur kemampuan kognitif siswa, self-assessment, atau penilaian berbasis portofolio (Bernacki et al., 2021; Zhang et al., 2020).

Selanjutnya pada model pendidikan inklusif, penilaian hasil belajar dilakukan melalui penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi anak, yang disebut sebagai adaptasi penilaian, seperti penyesuaian waaktu, cara dan materi (CBSE, 2020). Sebagai contoh, peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam pelajaran bahasa Inggris maka penilaian tentang keterampilan mendengarkan dapat dikompensasi dengan aspek lainnya seperti membaca. Teknik penilaian berbasis kelas yang dapat digunakan seperti penilaian unjuk kerja, tes kognitif, penilaian proyek, dan penilaian keterampilan. Model pembelajaran lainnya yaitu joyful learning yang menekankan pada terciptanya pembelajaran yang menyenangkan, terutama bagi peserta didik. Teknik penilaian kelas yang dapat diterapkan seperti observasi untuk penilaian kinerja, penilain sikap, penilaian diri (Central Board, n.d.; Hughes & Gullo, 2010; Lesbian & Wage, 2010).

 

c.     Asesmen dan Portofolio

Portofolio merupakan kumpulan dokumen hasil karya/pekerjaan/tugas sebagai bukti pencapaian atau hasil belajar siswa. Portofolio bertujuan untuk melihat perkembangan belajar siswa, sebab portofolio merefleksikan pertumbuhan atau proses  belajar melalui dokumen hasil karya siswa dari awal sampai akhir pembelajaran dalam suatu periode tertentu (Iofciu et al., 2012). Karya-karya siswa yang dikompilasi dalam portofolio tersebut biasanya dipilih oleh peserta didik berdasarkan hasil diskusi dengan pendidik. Portofolio biasanya dilengkapi refleksi atau informasi balikan (feedback) guru terhadap pencapaian pembelajaran siswa. Umpan balik dalam portofolio membantu siswa lebih sadar akan proses belajar dan sebagai kontrol kegiatan belajar mereka untuk membuat menjadi lebih bermakna (Wilcox & Tomei, 1999). Dengan kata lain, portofolio berisi karya atau pekerjaan siswa yang juga dilengkapi dengan refleksi tentang proses pembelajarannya untuk merefleksikan kekuatan dan kelemahan siswa sebagai bahan perbaikan ke depannya.

Portofolio tidak hanya digunakan untuk menilai kemampuan siswa secara kognitif, tetapi penilaian berbagai domain (sikap, keterampilan, pengetahuan) dapat termuat dalam portofolio. Portofolio memiliki keluasan cakupan penilaian sehingga mampu menyajikan informasi mengenaik kemampuan dan pemahaman siswa secara lebih komprehensif. Selain itu, portofolio juga juga memberikan gambaran autentik kepada guru tentang apa yang telah dipelajari siswa, kelemahan dan kekuatan siswa dalam pembelajaran, serta informasi tentang kendala apa saja yang dialami siswa dalam belajar serta jenis bantuan apa yang diharapkan siswa (Santoso, 2007).     

Menurut Davis & Ponnamperuma (2005), pelaksanaan penilaian portofolio terdiri atas lima tahap, yaitu sebagai berikut.

1)   Mengumpulkan informasi/ bukti/ dokumen hasil belajar.

Siswa mengumpulkan bukti/dokumen hasil belajar yang telah dihasilkan dalam aktivitas pembelajaran sehari-sehari. Beberapa kategori informasi/ dokumen yang dapat dikumpulkan sebagai bahan portofolio yaitu essay, laporan proyek, hasil penilaian kinerja dalam bentuk laporan, ceklis atau jurnal perkembangan kinerja),  rekaman, tugas dalam bentuk lembar kerja siswa, dan lain sebagainya. Dahulu, sebagian besar bukti belajar siswa yang dikumpulkan adalah berbasis kertas. Namun seiring perkembangan, bentuk portofolio pun juga mengalami perkembangan. E-portofolio / portofolio digital juga sudah cukup populer penerapannya.

          2)    Merefleksikan pembelajaran

Proses refleksi seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, pengembangan pribadi dan profesional, serta peningkatan praktik pembelajaran (Pee et al., 2002). Dalam konteks penilaian berbasis portofolio, refleksi harus menjawab setidaknya empat pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman belajar: “Apa yang telah saya pelajari? Apa yang masih perlu saya pelajari? Sumber daya apa yang digunakan untuk pembelajaran lebih lanjut? dan Apakah pembelajaran lanjut tersebut tercapai?”

          3)    Mengevaluasi informasi/ bukti/ dokumen yang telah dikumpulkan.

Setelah siswa mengirimkan portofolio, guru sebagai penilai akan mengevaluasi kualitas bukti/ dokumen belajar tersebut. Denga menggunakan rubrik penilaian yang berisi deskriptor/ kriteria penilaian serta pedoman penskoran, maka guru dapat menilai perkembangan belajar dan hasil belajar siswa berdasarkan dokumen portofolio.  Mengevaluasi portofolio dapat menggunakan rubrik penilaian. Rubrik berisi komponen-komponen apa yang perlu dimuat beserta kriteria dan skornya, sehingga rubrik menjadi acuan untuk memberikan skor terhadap portofolio siswa.

          4)    Mempertahankan bukti pembelajaran yang telah didokumentasikan.

Tahap ini bersifat opsional, biasanya digunakan oleh guru untuk mengklarifikasi isi dokumen belajar siswa jika diperlukan.

          5)    Menetapkan keputusan penilaian.

Tahap terakhir yaitu menetapkan keputusan penilaian perkembangan belajar dan hasil belajar siswa berdasarkan akulumasi informasi yang telah dikumpulkan selama proses penilaian portofolio. Keputusan penilaian didasarkan pada kriteria atau standar penilaian yang telah ditetapkan sebelumnya.

Informasi atau bukti belajar siswa yang didokumentasikan dalam portofolio sangat bergantung pada pemilihan model pembelajaran yang diterapkan. Beberapa contoh bentuk penilaian portofolio berdasarkan model pendidikan konstruktivisme yaitu sebagai berikut. Pada pembelajaran STEAM, dokumen pekerjaan siswa yang dikumpulkan seperti hasil tes kognitif, penilaian sikap, dan penilaian kinerja siswa. Selanjutnya pada pembelajaran inquiry, portoflio memuat dokumen penilaian kerja ilmiah siswa (Ernst et al., 2017; Reinmann, 2019). Sedangkan pada pembelajaran PBS yang berfokus pada perubahan tingkah laku, maka portofolio dapat memuat dokumen penilaian siswa yang terdiri dari jurnal perkembangan sikap, peer-assessment, self-assessment. Agak berbeda dengan PjBL (project-based learning) yang teknik penilaiannya berupa penilaiaan proyek dan penilaian produk, maka dokumen belajar yang dikumpulkan yaitu laporan proyek, produk yang dihasilkan beserta spesifikasinya, hasil penilaian sejawat dan penilaian diri (Chang & Tseng, 2011; Trauth-Nare & Buck, 2011).

Pada model Brunner yang menekankan pada penerapan tiga tahapan perkembangan kognitif siswa yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik, dokumen pekerjaan siswa dalam portoflio terdiri dari hasil tes kognitif, penilaian sikap, dan kinerja siswa. Selanjutnya pada pembelajaran scientific, dokumen pekerjaan siswa dalam portofolio dapat memuat hasil tes kognitif, penilaian sikap, dan hasil kinerja ilmiah. Sedangkan pada pembelajaran montessori, portofolio siswa dapat memuat Dokumen pekerjaan siswa yang terdiri dari unjuk kerja, laporan harian kegiatan kreatif montessori, karya atau produk kreatif yang dihasilkan siswa, serta catatan feedback kegiatan kreatif montessori dari guru Selanjutnya pada challenge-based learning, portofolio dapat berisi dokumen pekerjaan siswa yang terdiri dari hasil tes kognitif dan keterampilan kerja. 

Pada model pembelajaran collaborative, portofolio dapat memuat dokumen yang terdiri dari penilaian unjuk kerja, observasi kolaborasi, penilaian sejawat, penilaian sikap (Hunter, 2006; Strijbos, 2016; Wiener, 1986). Kebalikan dari pembelajaran kolaborasi yaitu pembelajaran individual yang menekankan pada kedalaman dan keluasan materi pelajaran yang disusun berdasarkan kebutuhan tiap individu siswa (Bernacki et al., 2021; Shemshack & Spector, 2020). Portofolio siswa dapat memuat dokumen pekerjaan yang terdiri dari hasil tes kognitif individu dan penilaian diri Selanjutnya pada model pendidikan inklusif yang menerapkan adaptasi penilaian dengan cara melakukan penyesuaian-penyesuaian penilaian dengan kondisi anak (CBSE, 2020). Dokumen pekerjaan siswa seperti unjuk kerja, tes kognitif, proyek, dan penilaian diri. Model pembelajaran lainnya yaitu joyful learning dengan berfokus pada terciptanya pembelajaran menyenangkan. Dokumen pekerjaan siswa dalam portofolio seperti tes kognitif, penilaian keterampilan, penilaian sikap, proyek, dan penilaian diri. Sedangkan pada games-based learning, portofolio siswa memuat dokumen hasil pekerjaan siswa seperti tes kognitif (benar-salah, menjodohkan, pilihan ganda kompleks, multiple choice, dan sebagainya).

Dalam konteks pembelajaran matematika, portofolio merupakan koleksi dari pekerjaan atau karya-karya siswa yang paling berarti dari hasil pembelajaran matematika, baik dari hasil pekerjaan terdahulu maupun yang terbaru, sehingga mampu menggambarkan kemajuan belajar siswa. Melalui penilaian berbasis porotofolio, guru dapat memperoleh informasi tidak hanya hasil belajar akhir, tetapi gambaran tentang cara berpikir matematis siswa, pemahaman konsep, gagasan, kreativitas, serta sikap terhadap mata pelajaran matematika (Santoso, 2007).

Berikut contoh portofolio siswa dengan kemampuan kognitif rendah, sedang dan tinggi pada pembelajaran matematika. Contoh dokumen portofolio berikut dikutip dari Laporan “Work Sample Portfolio Summary in Mathematics(A. C. A. R. A. Acara, 2014).

Mata pelajaran           : Matematika

Kelas                          : 1 SD

Indikator pencapaian : Melanjutkan pola yang memuat unsur bilangan dan objek sederhana.

Tugas                     : Siswa diminta untuk melanjutkan pola bilangan menggunakan objek sederhana

Berikut adalah tiga contoh hasil pekerjaan siswa yang selanjutnya dimasukkan dalam kumpulan dokumen portofolio. Selain jawaban atau hasil pekerjaan siswa, di dalamnya juga terdapat anotasi berupa komentar atau informasi balikan (feedback) guru terhadap pekerjaan siswa.

Gambar 1 menunjukkan hasil pekerjaan siswa dengan kognitif sedang. Dalam penyelesaiannya, siswa melanjutkan pola dengan menambah 2 objek. Pada gambar 2, siswa dengan kognitif rendah melanjutkan pola bilangan secara sederhana dengan hanya menambah 1 objek. Sedangkan pada gambar 3, jawaban siswa dengan kognitif tinggi menunjukkan lompatan (beda) 3 untuk menghasilkan pola bilangan. Pada bagian anotasi guru, terlihat bahwa guru memberikan setidaknya empat catatan tentang pekerjaan siswa, seperti penulisan angka pada setiap pola dan penggunaan visual yang teratur dan berbeda di tiap polanya. Dengan demikian, berdasarkan dokumen hasil pekerjaan pada portofolio tersebut, guru dapat memperoleh informasi tentang kemampuan berpikir dan pemecahan masalah siswa pada materi pola bilangan. 

 

Gambar 1. Jawaban siswa dengan kognitif sedang (portofolio)

 


Gambar 2. Jawaban siswa dengan kognitif rendah (portofolio)

 

Gambar 3. Jawaban siswa dengan kognitif tinggi


1.     7. Refleksi Perkuliahan Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Perkuliahan Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) pada kelas S3 Prodi PEP Kelas B diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA. Hal berkesan pertama adalah beliau satu-satunya dosen yang mengubah subjek nama grup WA MK Filsafat kelas kami menjadi ‘Senin..’ sesuai jadwal kuliah kami. Hal sederhana, namun unik menurut saya. Tanggal 5 September 2022 kami melaksanakan kuliah perdana secara hybrid. Kami melaksanakan kuliah tatap muka dengan Prof. Marsigit di Gedung Imam Bernadib Lt.1, namun tetap memfasilitasi ruan virtual bagi teman-teman yang sedang berada di luar kota bahkan luar negeri. Perkuliahan dimulai dengan perkenalan diri dan dilanjutkan dengan penjelasan beliau tentang overview MK Filsafat. Secara umum, ada 7 cakupan materi yang akan dipelajari selama 1 semester yaitu filsafat umu, filsafat PEP, ideologi PEP, paradigma dan teori PEP, psikologi, model dan strategi PEP, praksis PEP, dan outcome karya ilmiah PEP.

Metode perkuliahan yang dilakukan oleh Prof. Marsigit yaitu presentasi/eskposisi dosen, studi literatur, pemberian tugas, pemberian kuis jawab cepat, dan tugas akhir berbasis project/outcome. Prof. Marsigit juga menerapkan metode penilaian yang inovatif yaitu penerapan assessment for learning, di mana penilaian tidak hanya dilakukan di akhir perkuliahan dalam bentuk tes ujian akhir semester, namun penilaian juga dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung (formatif). Beberapa penilaian yang dilakukan seperti pemberian tugas review video, review buku I.Kant, review jurnal, pemberian pre-test dan post-test dalam bentuk kuis jawab cepat, serta outcome-based final test berupa makalah. Selanjutnya, sebagian besar tugas dan hasil pekerjaan kami diberikan feedback oleh beliau. Informasi balikan (feedback) tentunya sangat bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatkan kualitas proses pembelajaran kami, sebab melalui feedback kami dapat mengetahui segala kekurangan dari pekerjaan kami dan menjadi bahan perbaikan ke depannya. Penilaian dilakukan secara transparan dan didokumentasikan dalam WA grup, misalnya hasil setiap kuis selalu didokumentasikan pada WA grup, feedback makalah tugas akhir masing-masing dari kami juga dituliskan secara sangat detail melalui WA. Metode-metode penilaian tersebut sangat inspiratif menurut saya, sebab cukup sederhana namun sangat efektif untuk diterapkan di kelas.  Hal luar biasa yang juga dilakukan oleh Prof. Marsigit adalah beliau senantiasa mengirimkan kami berbagai macam literatur atau bahan rujuan untuk menyelesaikan setiap tugas. Puncaknya, ketika kami mengerjakan makalah tugas akhir, beliau mengirimkan puluhan referensi asing untuk membantu kami menyelesaikan tugas.      

Banyak hal unik dan berkesan yang saya rasakan selama mengikuti perkuliahan dengan Prof. Marsigit. Dimulai dari beliau yang senantiasa cukup ketak dalam menerapkan protokol kesehatan, beliau yang suka ‘berguyon’ di kelas, sampai pada pertemuan kedua, tepatnya tanggal 12 September 2022 kami diminta untuk menyiapkan kertas kosong dan pulpen. Beliau ternyata memberikan kuis jawab cepat ‘dadakan’ tentang istilah-istilah filsafat sebanyak 50 nomor. Dari 15 mahasiswa yang mengikuti kuis, hanya 2 orang yang menjawab benar 5 soal. Selebihnya kurang dari 5, bahkan beberapa mahasiswa yang tidak berhasil menjawab benar 1 nomor pun. Kami sekelas tertawa sekaligus ‘shock’. Kami berpikir bahwa ‘sebegitu susahnyakah MK Filsafat ini’ atau bahkan ‘sebegitu bodohnyakah kami dalam MK ini’.

Meskipun saya (dan mungkin juga teman-teman yang lain) tidak terlalu bagus performance-nya dalam MK ini -karena di setiap kuis hanya mampu menjawab benar maksimal 5 nomor dan banyak kekurangan dalam tugas lainnya (termasuk tugas akhir penulisan makalah ini)- namun saya merasa sangat bersyukur telah dipertemukan dengan Prof. Marsigit dalam ruang dan waktu yang bernama kelas Filsafat. Dari beliau, saya sadar bahwa berfilsafat itu justru dapat meningkatkan tauhid kepada Yang Maha Esa. Dari beliau, saya menjadi akrab dengan banyak istilah-istilah filsafat yang dahulunya asing di telinga saya. Dari beliau, saya belajar bahwa untuk menjadi pendidik itu harus ‘out of the box’, menjadi modern dan inovatif. Dan dari tugas akhir beliau, saya memperoleh banyak sekali ilmu baru tentang bagaimana menulis yang baik. Semoga ilmu dari beliau dapat menjadi bekal bagi saya dan teman-teman untuk menjadi dosen yang lebih baik lagi ketika kembali ke kampus kami di daerah masing-masing. Aamiin…   

File lengkap makalah dapat didownload pada tautan berikut

https://drive.google.com/file/d/1XZPl_I3QGXBreAv2iuYqFN4q41nGmq_V/view?usp=share_link


 

REFERENSI

Acara, Australian National Curriculum. (2014). Student Work Sample Portfolio Summary.

Adesanya, L. A. (2009). Education and learner autonomy. In K. U. M. O. Ivowi, C. Nwufo, J. Nwagbara, I. E. Ukwungwu, & G. U. Emah (Eds.), Curriculum Theory and Practice (pp. 123–130). Curriculum Organization of Nigera.

Aditomo, A., Goodyear, P., Bliuc, A.-M., & Ellis, R. A. (2013). Inquiry-based learning in higher education: principal forms, educational objectives, and disciplinary variations. Studies in Higher Education, 38(9), 1239–1258.

Ahuja, A. (2017). Study of scientific attitude in relation to science achievement scores among secondary school students. Educational Quest-An International Journal of Education and Applied Social Sciences, 8(1), 9–16.

Airasian, P. W. (2000). Assessment in the classroom: A concise approach. ERIC.

Akpan, V. I., Igwe, U. A., Mpamah, I. B. I., & Okoro, C. O. (2020). Social constructivism: implications on teaching and learning. British Journal of Education, 8(8), 49–56.

Anis, M. Z. A., Putro, H. P. N., Susanto, H., & Hastuti, K. P. (2020). Historical Thinking Model in Achieving Cognitive Dimension of Indonesian History Learning. PalArch’s Journal of Archaeology of Egypt/Egyptology, 17(7), 7894–7906.

Arifin, Z. (2010). Strategi Pengembangan Penilaian Berbasis Kelas (Classroom-Based Assessment).

Bada, S. O., & Olusegun, S. (2015). Constructivism learning theory: A paradigm for teaching and learning. Journal of Research & Method in Education, 5(6), 66–70.

Barber. (1995). A Variety of Assessment Strategies for Science Learning.

Barnes, H. (2005). The theory of Realistic Mathematics Education as a theoretical framework for teaching low attainers in mathematics. Pythagoras, 0(61). https://doi.org/10.4102/pythagoras.v0i61.120

Bernacki, M. L., Greene, M. J., & Lobczowski, N. G. (2021). A Systematic Review of Research on Personalized Learning: Personalized by Whom, to What, How, and for What Purpose(s)? Educational Psychology Review, 33(4), 1675–1715. https://doi.org/10.1007/s10648-021-09615-8

Bertrand, M. G., & Namukasa, I. K. (2020). STEAM education: student learning and transferable skills. Journal of Research in Innovative Teaching & Learning.

Birgin, O., & Adnan, B. (2007). The use of portfolio to assess student’s performance. Journal of Turkish Science Education, 4(2), 75–90.

Buhagiar, M. A. (2007). Classroom assessment within the alternative assessment paradigm: revisiting the territory. The Curriculum Journal, 18(1), 39–56. https://doi.org/10.1080/09585170701292174

Burke, K. (2009). How to assess authentic learning. Corwin Press.

Callaghan, V. (2014). Assessment Practices in the Montessori Setting.

Causton, J., & Tracy-Bronson, C. P. (2015). The educator’s handbook for inclusive school practices. Paul H. Brookes Publishing Company.

CBSE, C. B. of S. E. (2020). Handbook of Inclusive Education. Https://Cbseacademic.Nic.in/Web_material/Manuals/Handbook-Inclusive-Education.Pdf.

Central Board, S. E. (n.d.). Handbook of Joyful Learning. Central Board of Secondary Education,.

Chang, C.-C., & Tseng, K.-H. (2011). Using a web-based portfolio assessment system to elevate project-based learning performances. Interactive Learning Environments, 19(3), 211–230.

Copple, C., & Bredekamp, S. (2009). Developmentally appropriate practice in early childhood programs serving children from birth through age 8. ERIC.

Davis, M. H., & Ponnamperuma, G. G. (2005). Portfolio Assessment. Journal of Veterinary Medical Education, 32(3), 279–284. https://doi.org/10.3138/jvme.32.3.279

Dikli, S. (2003). Assessment at a distance: Traditional vs. alternative assessments. Turkish Online Journal of Educational Technology-TOJET, 2(3), 13–19.

Erkilic, T. A. (2021). A Study on the Effects of Ideologies on Education and Management in the Context of Basic Concepts of Political Philosophy. Osmangazi Journal of Educational Research, 8(1), 259–285.

Ernest, P. (1995). The Philosophy of Mathematics Education. The Falmer Press.

Ernst, D. C., Hodge, A., & Yoshinobu, S. (2017). What is inquiry-based learning. Notices of the AMS, 64(6), 570–574.

Faryadi, Q. (2007). The Montessori Paradigm of Learning: So What?. Online Submission.

Festiyed. (2013). Perubahan paradigma proses pembelajaran dalam memberikan layanan profesional berbasis karakter. Prosiding Seminar Nasional MIP Dan FMIPA IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 1–27.

Frank*, M., & Barzilai, A. (2004). Integrating alternative assessment in a project-based learning course for pre-service science and technology teachers. Assessment & Evaluation in Higher Education, 29(1), 41–61.

Gess, A. H. (2017). Steam educaton: Separating fact from fiction. Technology and Engineering Teacher, 77(3), 39–41.

Goodman, B., & Stivers, J. (2010). Project-Based Learning.

Gronlund, N. E. (1998). Assessment of student achievement. ERIC.

Herrera, S. G., Murry, K. G., & Cabral, R. M. (2007). Assessment accommodations for classroom teachers of culturally and linguistically diverse students. Pearson Education Inc.

Hughes, K., & Gullo, D. (2010). Joyful learning and assessment in kindergarten. YC Young Children, 65(3), 57.

Hunter, D. (2006). Assessing collaborative learning. British Journal of Music Education, 23(1), 75–89. https://doi.org/10.1017/S0265051705006753

Iofciu, F., Miron, C., & Antohe, S. (2012). Constructivist approach of evaluation strategies in science education. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 31, 292–296. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.12.057

Jena, S. S., & Behera, D. (n.d.). Constructivist Approach: An Outlook towards Assessment of Students’ Learning.

Kellaghan, T. (2010). Evaluation Research. In International Encyclopedia of Education (pp. 150–155). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-044894-7.01326-9

Kemendikbud. (2017). Konsep Penilaian Autentik pada Proses dan Hasil Belajar.

Kemendikbud. (2022). Standar Penilaian Pendidikan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah No. 21 Tahun 2022.

Kirthika. (2022). Constructive Approach in Assessment/ ChangingAssessment Practice.

Kumar, A., & Teotia, A. K. (2017). Constructivism: a learner centered approach that improves students’ academic performance and achievement in social science at upper primary level. International Journal of Management and Applied Science, 3(8), 56–60.

Lesbian, G., & Wage, W. (2010). Joyful Learning and Assessment in Kindergarten. Young Children.

Marsigit. (2014a). Narasi Besar Ideologi dan Politik Pendidikan Dunia.

Marsigit. (2014b). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan.

Marsigit. (2015a). Pendekatan saintifik dan Penerapannya dalam Kurikulum 2013.

Marsigit. (2015b). Teaching Material on the Philosophical and Theoretical Ground of Mathematical Education.

Marsigit. (2016). Lesson Study Among the Move of Educational Reformation in Indonesia. The 3rd ICRIEMS (International Conference of Research Implementation, and Education of Mathematics and Science.

Marsigit, M. (2009). Philosophy of Mathematics Education.

Marsigit, Suripah, Istikomah, D. A., Utami, N. W., & Kurniasih, N. (2018). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Matematika. Media Akademi.

Mcleod, S. (2008). Bruner-learning theory in education.

Muho, A., & Leka, K. (2021). Students’ Perceptions of Portfolio as a Motivating Factor in Learning English as a Foreign Language. Journal of Educational and Social Research, 11(6), 47.

Nurhaifa, I., Hamdu, G., & Suryana, Y. (2020). Rubrik penilaian kinerja pada pembelajaran STEM berbasis keterampilan 4C. Indonesian Journal of Primary Education, 4(1), 101–110.

Nurhayati, Ambiyar, & Aziz, I. (2021a). The Historical Of Evaluation Program And Philosophy Assessment. International Journal Of Humanities Education And Social Sciences (IJHESS), 1(3), 135–143.

Nurhayati, Ambiyar, & Aziz, I. (2021b). The Historical Of Evaluation Program And Philosophy Assessment. International Journal Of Humanities Education And Social Sciences (IJHESS), 1(3), 135–143.

Offorma, G. C. (2016). Integrating Components of Culture in Curriculum Planning. International Journal of Curriculum and Instruction, 8(1), 1–8.

Oliver, K. M. (2000). Methods for developing constructivist learning on the web. Educational Technology, 40(6), 5–18.

Olorode, J. J., & Jimoh, A. G. (2016). Effectiveness of guided discovery learning strategy and gender sensitivity on students’ academic achievement in financial accounting in Colleges of Education. International Journal of Academic Research in Education and Review, 4(6), 182–189.

Ornstein, A. C., & Levine, D. U. (1985). An introduction to The Foundations of Education. Houghton Mifflin.

Ozola, S. (2012). Student-Centred Learning: A Dream or Reality. Bulgarian Comparative Education Society.

Pee, B., Woodman, T., Fry, H., & Davenport, E. S. (2002). Appraising and assessing reflection in students’ writing on a structured worksheet. Medical Education, 36(6), 575–585.

Permendikbud. (2016). Standar Penilaian Pendidikan No. 23 Tahun 2016.

Phillips, D. C. (1995). The good, the bad, and the ugly: The many faces of constructivism. Educational Researcher, 24(7), 5–12.

Reeves, T. C. (2000). Alternative assessment approaches for online learning environments in higher education. Journal of Educational Computing Research, 23(1), 101–111.

Reinmann, G. (2019). Assessment and Inquiry-Based Learning. In Inquiry-Based Learning–Undergraduate Research (pp. 91–105). Springer, Cham.

Ross, C. (1970). An educational philosophical inventory: An instrument for measuring change and determining philosophical perspective. The Journal of Educational Thought (JET)/Revue de La Pensée Educative, 20–26.

Rustaman, N. Y. (2004). Penilaian berbasis kelas. Makalah. Disajikan Dalam Seminar/Lokakarya Di FPMIPA IKIP Negeri Singaraja. Program Pascasarjana & FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Singaraja, 4.

Saeed, M., Tahir, H., & Latif, I. (2018). Teachers’ Perceptions about the Use of Classroom Assessment Techniques in Elementary and Secondary Schools. Bulletin of Education and Research, 40(1), 115–130.

Sahin, M. (2018). Essentialism in Philosophy, Psychology, Education, Social and Scientific Scopes. Online Submission, 22(2), 193–204.

Santoso, B. (2007). Penilaian Portofolio Dalam Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika, 1(2), 31–38.

SEAQIL. (2020). HOTS - Oriented Modul: Project-Based Learning. SEAMEO QITEP in Language.

Sewagegn, A. A. (2020). Learning objective and assessment linkage: its contribution to meaningful student learning. Univers J Edu Res, 8(11), 5044–5052.

Shemilt, D. (2018). Assessment of learning in history education: Past, present, and possible futures. The Wiley International Handbook of History Teaching and Learning, 449–471.

Shemshack, A., & Spector, J. M. (2020). A systematic literature review of personalized learning terms. Smart Learning Environments, 7(1), 1–20.

Simonson, M., Zvacek, S. M., & Smaldino, S. (2019). Teaching and learning at a distance: Foundations of distance education 7th edition.

Strijbos, J.-W. (2016). Assessment of collaborative learning. Handbook of Human and Social Conditions in Assessment, 302–318.

Suparlan, S. (2019). Teori konstruktivisme dalam pembelajaran. Islamika, 1(2), 79–88.

Suskie, L. (2018). Assessing student learning: A common sense guide. John Wiley & Sons.

Takaya, K. (2008). Jerome Bruner’s Theory of Education: From Early Bruner to Later Bruner. Interchange, 39(1), 1–19. https://doi.org/10.1007/s10780-008-9039-2

Tan, C. (2006). Philosophical perspectives on education. In C. Tan, B. Wong, J. S. M. Chua, & T. Kang (Eds.), Critical Perspectives on Education: An Introduction.

Trauth-Nare, A., & Buck, G. (2011). Assessment for learning: Using formative assessment in problem-and project-based learning.

Usa, O. (2015). Shifting Paradigm in our Educational Assessment. Global Advanced Research Journal of Educational Research and Review (, 4(1), 001–005.

van den Heuvel-Panhuizen, M., & Drijvers, P. (2020). Realistic mathematics education. Encyclopedia of Mathematics Education, 713–717.

Varney, J. (2009). From hermeneutics to the translation classroom: A social constructivist approach to effective learning. Translation & Interpreting, The, 1(1), 29–45.

Widiana, I. W. (2022). Performance and Project Assessment in Science Learning. Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran, 55(2).

Wiener, H. S. (1986). Collaborative learning in the classroom: A guide to evaluation. College English, 48(1), 52–61.

Wilcox, B. L., & Tomei, L. A. (1999). Professional portfolios for teachers: A guide for learners, experts, and scholars. Christopher-Gordon.

Worthen, B. R., & Sanders, J. R. (1987). Educational Evaluation. Longman.

Yuwono, I. (2018). Penilaian Hasil Belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Praktik Pendidikan Inklusif. FKIP Universitas Lambung Mangkurat.

Zahro, I. F. (2015). Penilaian dalam pembelajaran anak usia dini. Tunas Siliwangi: Jurnal Program Studi Pendidikan Guru PAUD STKIP Siliwangi Bandung, 1(1), 92–111.

Zhang, L., Basham, J. D., & Yang, S. (2020). Understanding the implementation of personalized learning: A research synthesis. Educational Research Review, 31, 100339. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2020.100339.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS